Benar kata orang, bahwa yang kita pikirkan bisa jadi kenyataan. Termasuk dugaan kita akan kemampuan anak kita. Jika kita merasa bahwa anak bisa, maka ia dapat melakukannya. Begitu juga sebaliknya.
Ini cerita tentang teman Bintang, anakku. Sebut saja namanya, Rinanty. Dia gadis manis berusia 6 tahun. Saat awal-awal Bintang masuk di Junior Club, sebuah tempat bermain bersama, aku tak pernah melihat Rinanty tersenyum. Nah, ini yang menarik buatku.
Beberapa hari melihatnya, ada kesempatan ngobrol dengan pengasuhnya. Sebenarnya tidak bermaksud membicarakan Rinanty, karena ngomongin Bintang tetap lebih menarik (hehehe narciss abiss).
Informasi dari Pengasuh, Rinanty dulunya adalah anak yang ceria. Banyak hal yang dilakukanny, sampai ia memecahkan mangkuk yang berisi makanannya. Seluruh isi tumpah ruah. Ibunya menjerit, dan Rinanty ketakutan. Ayahnya datang menenangkan ibunya, sebagai pilihan pertama. Ayah datang dengan muka bersungut-sungut. Entahlah, antara cemas dan marah. Selama menenangkan ibunya, sesekali ayah melihatnya, tetap dengan kondisi ketakutan. Sementara Rinanty diam dipojok, ayah masih mendiamkannya, beberapa menit bersama ibu.
Ini kali pertama Rinanty ingin makan sendiri. Sebelumnya ia selalu disuapi, selalu dilayani. Mungkin sudah ada keinginan untuk mencoba, Rinanty ingin makan sendiri. Bahkan ia memaksa, meski ibunya mencoba mencegahnya. Ibu mencoba memberi kepercayaan kepadanya. Dan peristiwa itulah yang akhirnya terjadi.
Ini sebuah kejadian yang berdurasi singkat. Bahkan tak sepanjang sepenggal rekaman video yang diunggah di youtube. Tapi di balik yang sebentar ini ada pengalaman psikis yang dahsyat pada diri Rinanty.
Sementara cerita tentang Rinanty aku tahan dulu. Sebenarnya aku punya cerita yang sama, yang dialami oleh Azis. Dia temanku waktu SMP. Ia juga mengalami hal yang sama waktu kecil. Memang, ia baru cerita ketika aku kuliah di Psikologi. Menurutnya, aku orang yang tepat untuk mendapatkan curhatnya.
Pengalaman Azis ini, menurut dia, sebenarnya sudah tidak terlalu dipikirkan. Bisa dibilang sudah dilupakan. Hanya saja, menurut Azis, pengalaman ini jadi teringat ketika ia sering tidak dipercaya oleh orangtuanya. Bahkan apa yang ia lakukan sering dikritik oleh bapaknya.
Sebenarnya pilihan kata ‘sering’ yang diucapkan Azis, bisa dibilang tidak sesering yang aku bayangkan. Dalam rentang usia yang sudah berkepala 2, Azis mungkin hanya mengalami beberapa kali saja. Bahkan kata ‘sering’ itu malah bisa diganti ‘jarang’.
Azis merasakan ini sebagai drama kehidupannya, karena pengalaman masa kecilnya, seperti yang dialami Rinanty, adalah pengalaman yang melukai dan selalu diingat. Ternyata kejadian yang singat itu mengandung makna yang banyak. Pada saat kejadian itu, sekejap Rinanty dilukai oleh rasa tidak dipercaya, diremehkan, didikte. Begitu juga dengan Azis. Karena itulah pengalaman itu mudah terhubung dengan perlakuan orangtuanya ketika ia sudah dewasa. Orangtuanya mungkin hanya melakukan kritik kecil, sedikit melarang, dan sesekali saja memarahi.
Sebenarnya pengalaman Rinanty dan Azis itu adalah kejadian yang tidak disengaja. Beda lagi dengan Yosef. Dia adalah teman kuliahku. Dia sering dikritik oleh ayahnya, meskipun mungkin ayahnya hanya bermaksud mengarahkan. Ketika Yosef mengemukakan idenya, ayahnya banyak sekali melakukan pembetulan di sana-sini. Mungkin tujuan ayahnya biar Yosef terarah. Memang kadang ayahnya hanya mengritik, tanpa pembetulan.
Ayah Yosef kadang juga memberikan contoh, yang menurutnya hal itu ideal. Ayah Yosef memberikan contoh dengan harapan Yosef mencontohnya, meniru seperti dirinya. Ini berat buat dia, karena Yoserf sangat berbeda dengan ayahnya. Info tambahannya, persoalan dengan ayahnya sampai membuat Yosef berhenti dari kuliahnya.
Dari cerita beberapa anak/orang ini, ada kesalahan yang sama dari orangtua ketiganya, yaitu:
1. Terlalu banyak mengritik
2. Tidak mengimbangi kritik dengan pujian atas hal positif anaknya
3. Kurang atau bahkan tidak mempercayai anaknya
4. Menganggap anak punya karakteristik yang sama dengan dirinya
5. Memaksa anak menjadi seperti dirinya
Karena itu, sebagai orangtua, agar pengalaman ketiga orang/anak tidak terjadi pada anak-anaknya, maka perlu melakukan sebaliknya.
1. Boleh mengritik, tapi jangan berlebihan
2. Tidak hanya mengritik, tetapi lebih banyak melakukan apresiasi
3. Berikan kepercayaan kepada anak
4. Tidak hanya memahami kesamaan, tetapi juga perlu tahu perbedaannya dengan anak
5. Anak boleh memilih, mau menjadi seperti dirinya atau yang lain
Demikian kira-kira cerita yang dapat aku bagi. Mudah-mudahan bermanfaat untuk pengasuhan yang lebih baik.
Silakan hubungi http://rudicahyo.com/parenting-artikel/5-kesalahan-orangtua-yang-melukai-kepercayaan-diri-anak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar