Pada waktu masih sekolah di SMP dan SMA dulu, entah karena cara belajar saya yang keliru atau memang metode pengajarannya yang kurang pas, seringkali saya dihadapkan pada situasi harus menghafalkan sekian banyak materi ajaran dalam waktu singkat, taruh kata semalam, karena keesokan harinya harus berhadapan dengan soal-soal yang harus dijawab dengan hafalan tersebut. Biasanya situasi seperti ini terjadi saat ujian, baik tes formatif , tes sub sumatif maupun tes sumatif (mungkin dalam sistem pendidikan nasional saat ini terminologi seperti itu sudah tidak digunakan lagi).
Seusia itu saya belum begitu tertarik mempelajari pola kerja otak, apalagi mendalapami NLP atau pendekatan mind power lainnya. Yang saya pahami hanyalah, saya harus hafal karena saya ingin nilai saya tidak buruk, kalaupun tidak bisa sangat baik. Kenapa? Motivasinya sederhana saja. Pertama sejak kecil saya terbiasa dipersepsi oleh lingkungan sekitar sebagai anak pandai. Mungkin karena ranking di kelas yang selalu sekitar 3 besar. Sehingga, kalau sampai nilai saya jelek, saya akan merasa malu dan mengecewakan lingkungan yang sudah telanjur mempersepsi saya sebagai anak pandai. Kedua, saya sendiri merasa bahwa saya punya kemampuan yang cukup baik, kalau tidak mau dibilang di atas rata-rata. Sehingga saya punya keyakinan dan optimisme, bahwa saya mampu menghafal atau apapun caranya, agar dapat menjawab soal-soal dengan benar.
Entah dari mana munculnya ide, yang biasa saya lakukan dalam waktu singkat adalah memindahkan materi ajaran yang cukup banyak tersebut ke atas selembar (atau beberapa lembar) kertas dengan kata-kata saya sendiri secara singkat, dengan membagi beberapa lokasi (koordinat) di atas kertas tersebut. Selembar kertas A4 saya bagi menjadi 8-12 kotak, dan masing- masing saya beri judul dan dibawahnya adalah beberapa frasa yang harus saya hafalkan. Setelah itu ringkasan di atas kertas saya baca berulang-ulang, bahkan sampai saya berangkat tidur hingga tertidur. Keesokan harinya ketika menjelang waktu ujian, saya masih terus membaca-baca ulang kertas-kertas coretan tangan saya tersebut, sampai tiba saat harus mengerjakan soal-soal.
Nah, pada saat mengisi jawaban yang membutuhkan hafalan tersebut yang saya lakukan adalah ”membaca” kembali kertas-kertas coretan tangan saya secara visualisasi. Artinya saya membayangkan seolah-olah sedang membacanya, meskipun kertas-kertas itu sedang tersimpan rapi di tempat yang tidak terjangkau. Ketika dihadapkan pada satu pertanyaan, akan terbayang letak jawabannya ada di kertas ke berapa pada kotak di lokasi (koordinat) mana. Lalu frasa-frasa apa yang ada di baris pertama, kedua, dan seterusnya. Dengan bermodalkan cara inilah, soal-soal yang membutuhkan banyak hafalan bisa terselesaikan.
Adakalanya pada saat ”membaca” secara visualisasi, ada bagian yang tampak kabur atau bahkan hilang! Baik itu kotak baris tertentu atau bahkan satu kotak tertentu. Dengan lebih berkonsentrasi (biasanya sambil mengarahkan bola mata ke atas) berangsur-angsur tulisan-tulisan itu bisa muncul lebih jelas. Sesegera mungkin pindahkan ke kertas jawaban sebelum ”gambar” itu kabur lagi.
Sepanjang yang saya alami saat itu, metode ini sifatnya instant, dalam arti cepat terekam namun apabila tidak diulang-ulang lagi (di-recharge) berangsur-angsur akan kabur bahkan pada saatnya akan hilang sama sekali. Hal ini bisa kita pahami karena untuk membuat suatu memory yang kuat dan mudah me-recall kembali, dibutuhkan kesan (impression) yang kuat dan terjadi pada kondisi emosional yang peak. Sehingga, metode visualisasi akan lebih bermanfaat jika dibarengi suatu kesan yang kuat yang masuk ke dalam otak kita melalui alat indera yang lain, apakah itu auditory, kinestetik, atau bahkan gustatory dan olfactory.
Dari beberapa paragraf cerita di atas, strategi yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi suatu situasi yang kita harapkan bisa kita persiapkan dengan optimal adalah:
1. Tujuan yang Memotivasi
Dalam cerita di atas, tujuannya adalah bisa menjawab soal-soal ujian, terutama yang membutuhkan hafalan, dengan benar. Kenapa? Karena ingin memperoleh nilai yang baik, agar tidak malu, agar tidak mengecewakan orang-orang yang terlanjur mempersepsi diri saya sebagai anak pandai. Saya sendiri berkeyakinan saya punya kemampuan sehingga saya optimis bisa menjawab soal dengan benar dan memperoleh nilai yang baik.
2. Jalan Masuk yang Paling Disukai
Masuknya informasi ke dalam otak bisa melalui semua alat indera. Pada cerita di atas preferensi atau jalan masuk yang disukai adalah melalui mata (visual). Meskipun pada saat membuat coretan dilakukan secara kinestetik, namun yang ”dinikmati” adalah hasil coretannya, yaitu dibaca berulang-ulang sehingga terjadi secara repetisi (pengulangan) pemasukan informasi visual ke dalam otak.
3. Memperkuat Kesan
Karena masuknya informasi melalui jalan yang disukai yaitu visual, maka pada saat informasi akan dihadirkan kembali (diaktifkan) maka keluarnya juga jalan visual. Di atas disebutkan bahwa sifat metode ini instant, karena tidak menetap terlalu lama. Atau lebih tepatnya, untuk menghadirkan atau mengaktifkan kembali informasi itu, pada saat-saat yang akan datang, tdaiklah semudah pada saat-saat awal dimana informasi itu baru saja masuk atau terekam. Maka, untuk mempermudah mengaktifkan kembali pada saat-saat mendatang, yang sudah jauh waktunya dari saat-saat masuknya informasi ke otak, dibutuhkan kesan yang lebih kuat, yaitu dengan melibatkan alat-alat indera yang lain.
Pada konteks cerita di atas, bisa dilakukan misalnya pada saat proses menghafal, atau membaca berulang-ulang, dibarengi dengan suara tertentu, suhu udara tertentu, bau-bauan tertentu atau sambil mengecap rasa tertentu. Misalnya, sambil menghafal, diiringi dengan suara musik suatu lagu (meskipun tidak dominan dengan suara keras). Secara kinestetik berada di tempat dengan suhu tertentu (misalnya menggunakan kipas angin, AC, atau berada di ruangan sempit, dsb), sambil duduk di kursi yang empuk atau keras. Bauan-bauan misalnya bau parfum yang dipakai sendiri, atau pengharum ruangan atau bahkan bau alat tulis yang dipakai. Rasa bisa dengan menghafal sambil menikmati kembang gula atau asinan.
4. Menghadirkan Informasi dengan Lima Indera
Bilamana pada saat kita menghadirkan atau mengaktifkan informasi itu semua situasi sangat mendekati atau semirip mungkin dengan situasi pada saat kita menghafal, yaitu sambil mendengar lagu yang sama, atau berada di tempat dengan suhu yang sama, duduk di kursi yang kurang lebih sama, sambil menikmati rasa yang hampir sama, dan mencium bau-bauan yang mirip dengan yang tercium saat menghafal, maka visual kita akan lebih mudah ”membaca” kembali apa yang terekam secara visual sebelumnya, karena dibantu oleh kesan yang kuat berupa informasi yang pada waktu bersamaan juga ditangkap oleh alat-alat indera yang lain.
Written by Aziez on 22 February 2007 – 12:00 am -
Posted in NLP & Belajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar