Setiap memasuki semester genap, guru yang mengajar di kelas terakhir pada setiap jenjang satuan pendidikan, bagaikan terpenjara. Mereka dituntut untuk membawa sukses peserta didik dalam menempuh Ujian Nasional (UN). Demikian besar ekspektasi orang tua murid akan keberhasilan anak-anak dalam menempuh UN, sampai-sampai sang guru lebih banyak berada di sekolah. Berangkat pagi, pulang sore; entah memberikan les, pemadatan materi, atau apa pun namanya. Semua dilakukan agar siswa didiknya sukses menempuh UN dengan prestasi terbaik. Sudah bekerja mati-matian pun belum ada jaminan bahwa anak-anak sukses menempuh UN. Imbasnya, guru sering kali dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kegagalan siswa dalam menempuh UN. Setelah UN berlangsung, akhirnya siswa Lulus 100%, siapa yang dapat nama ? Gurukah ?
Dari berbagai pengalaman selama ini, guru tak jarang mengeluh tentang kesenjangan yang terjadi antara tuntutan kurikulum dan UN. Pada semester genap, misalnya, guru tidak lagi menggunakan kurikulum sebagai acuan. Mereka lebih terfokus untuk mengajak siswanya mendalami soal-soal UN. Bahkan, tak jarang siswa diperlakukan sebagai “bejana” yang terus di-drill soal-soal UN, tanpa memedulikan lagi apakah materi yang disajikan dipahami sepenuhnya oleh siswa atau tidak. Yang ada di benak guru, semakin banyak soal di-drill-kan, siswa dianggap akan makin siap menghadapi UN. Benarkah demikian?
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu bukanlah hal yang mudah. UN selama ini telah dicitrakan sebagai penilaian terakhir yang akan menentukan lulus atau tidaknya siswa belajar selama tiga tahun di jenjang satuan pendidikan tertentu. Repotnya, UN juga telah dicitrakan akan membawa nama baik, citra, dan marwah sekolah, bahkan daerah. Tak perlu heran apabila muncul kesan bahwa UN tak semata-mata menjadi alat dan sarana penilaian semata, tetapi juga telah merambah ke ranah birokrasi. Tak jarang muncul tekanan dari atas ke bawah. Bupati/walikota menekan kepala dinas pendidikan, kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah, dan ujung-ujungnya gurulah yang harus menanggung imbasnya. Seringkali, guru “dipaksa” menghalalkan segala cara untuk mendongkrak nilai UN siswanya. Tak perlu heran jika hampir setiap tahun terjadi kecurangan. Namun, ironisnya, kecurangan demi kecurangan yang (nyaris) terjadi tiap tahun, tak pernah diusut tuntas.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin generasi masa depan negeri ini hanya akan menjadi sosok yang tidak mandiri, suka mengambil jalan pintas, dan tidak memiliki rasa percaya diri. Ketidakjujuran pelaksanaan UN yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri makin membuktikan bahwa sikap jujur justru akan membuat anak-anak gagal dalam meraih cita-cita. Imbas lebih lanjut, mereka juga cenderung untuk mengambil jalan pintas, suka menipu, dan berbagai cara tidak fair lainnya.
Sebelum telanjur parah, ada baiknya formula UN benar-benar didesain agar anak-anak mampu menghargai proses dan kejujuran. Dari sisi proses, anak-anak perlu ditanamkan sikap bahwa tak ada sukses yang bisa diraih tanpa proses kerja keras. Demikian juga dalam soal kejujuran. Sikap seperti ini harus jelas muncul secara masif dalam pelaksanaan UN, sehingga siswa yang tidak jujur justru akan mendapatkan hasil yang buruk.
Jangan sampai terjadi, UN hanya menciptakan kegelisahan di kalangan guru, sehingga cenderung mengambil jalan pintas dan menempuh segala macam cara untuk “menyulap” nilai siswanya jadi tinggi. UN bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mengukur dan memotret kemampuan siswa selama memburu ilmu di bangku sekolah. Ini artinya, UN harus dikembalikan kepada “khittah”-nya sebagai alat penilaian yang benar-benar sahih dalam memotret kompetensi siswa. Nah! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar